Minggu, 11 Mei 2008

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: KAMBING DOMBA


Agribisnis komoditas ternak kambing dan domba (kado) di Indonesia mempunyai prospek yang sangat besar, mengingat dalam 10 tahun mendatang akan ada 5 juta kepala keluarga muslim yang masing-masing kepala keluarga akan menyembelih satu ekor ternak kambing ataupun domba untuk kurban, satu ekor untuk setiap anak perempuan dan dua ekor untuk anak laki-laki untuk akikah. Disamping itu untuk keperluan ibadah haji di tanah suci akan dibutuhkan 2,5 juta ekor kado untuk keperluan membayar dam ataupun untuk kurban para jemaah haji.

Profil usaha-ternak kado di sektor usaha primer menunjukkan bahwa usaha tersebut memberikan keuntungan yang relatif baik, masing-masing dengan nilai B/C sebesar 1.17 dan 1.39 untuk usaha pembesaran dan penggemukan.

Untuk itu diperlukan dukungan investasi dalam pengembangan agribisnis kado baik dari pemerintah, swasta, maupun masyarakat/komunitas peternak. Investasi tersebut meliputi aspek: (i) pelayanan kesehatan hewan, (ii) dukungan penyediaan bibit (pejantan) unggul dan induk berkualitas, (iii) kegiatan penelitian, pengkajian dan pengembangan yang terkait dengan aspek pakan dan manajemen pemeliharaan, serta (iv) pengembangan kelembagaan untuk mempercepat arus informasi, pemasaran, promosi, permodalan, (v) penyediaan infrastruktur untuk memudahkan arus barang input-output serta pemasaran produk, (vi) ketersediaan laboratorium keswan, pakan dan reproduksi, serta (vii) penyiapan lahan usaha peternakan dan penetapan tata ruang agar pengembangan ternak tidak terganggu oleh masalah keswan, sosial, hukum dan lingkungan.


Secara mandiri swasta dapat bergerak di sektor hulu (usaha penyediaan calon induk, penyediaan pejantan, penyediaan semen, pabrik pakan mini,dll), serta di kegiatan hilir (RPH, industri pengolahan daging, susu, kulit, kompos dll.). Usaha-ternak budidaya oleh swasta dilakukan melalui pendekatan pola kemitraan, dimana peternak menghasilkan bakalan dan inti membeli untuk digemukkan atau langsung dipasarkan. Variasi dari pola kemitraan dan investasi dalam pengembangan kado sistem integrasi mungkin cukup beragam, dan harus disesuaikan dengan kondisi setempat.

Sasaran pengembangan kado dalam 10 tahun mendatang ditujukan untuk menambah produksi sampai 5 juta ekor/tahun, yang berarti diperlukan penambahan populasi induk sedikitnya 4 juta ekor, untuk menghasilkan anak 6 juta ekor/tahun, yang akan berdampak pada penambahan populasi sekitar 10 juta ekor. Bila rata-rata harga kado sekitar Rp. 400 ribu/ekor, maka total investasi yang diperlukan sekitar Rp. 4 trilyun. Bila diasumsikan pemerintah akan berinvestasi sebesar 0,92 trilyun (23 persen), masyarakat sebesar 2,52 trilyun (63 persen), maka investasi swasta yang dibutuhkan sedikitnya sekitar Rp. 0,56 trilyun (14 persen). Angka-angka ini belum memperhitungkan bila sebagian ternak ditujukan untuk menghasilkan susu. Investasi masyarakat sebagian besar berasal dari pemanfaatan aset yang telah dimiliki, atau sumber pendanaan baru yang berasal dari lembaga keuangan, bantuan pemerintah, kerjasama dengan swasta (inti) atau bantuan keluarga/kelompok.

Usaha-ternak kado akan mampu menciptakan lapangan kerja baru, baik peluang untuk menjadi peternak mandiri maupun lowongan pekerjaan yang terlibat pada sektor hulu dan hilir. Bila ada penambahan populasi sekitar 12 juta ekor, sedikitnya akan mendorong penciptaan lapangan kerja baru untuk satu juta orang di perdesaan maupun di kawasan industri pendukung.

Investasi penyediaan bibit unggul, untuk calon induk maupun pejantan adalah sangat strategis, karena saat ini praktis belum ada pihak yang tertarik. Pusat pembibitan ternak milik pemerintah yang sudah ada belum mampu untuk merespon perkembangan yang terjadi di masyarakat. Namun ke depan kegiatan ini justru harus dilakukan oleh swasta atau peternak kecil yang maju. Investasi untuk usaha ini dapat dimulai dengan skala sedang 200-500 ekor untuk kemudian dikembangkan menjadi usaha yang besar. Investasi yang diperlukan usaha ini sedikitnya sekitar Rp. 0,5-1 milyar, tidak termasuk kebutuhan lahan. Diharapkan usaha ini dapat dikembangkan di kawasan perkebunan yang sudah tersedia bahan pakan yang memadai. Sementara itu investasi untuk pabrik pakan, pabrik obat, pabrik kompos, pabrik pengolahan susu, dll., dapat disesuaikan dengan kapasitas yang diperlukan, yang bernilai setara dengan nilai investasi pada ternak lainnya.

Dukungan kebijakan investasi perlu menyertakan petani sebagai end user dan pada akhirnya memberikan titik terang dalam pemberdayaan petani, peningkatan kesejahteraan disamping penambahan devisa dari ekspor bila pasar ekspor ke negara-negara jiran dapat dimanfaatkan. Untuk mendukung pembangunan/ revitalisasi pertanian dan menciptakan iklim investasi guna pengembangan dan peningkatan mutu ternak kado diperlukan berbagai kebijakan, antara lain: (a) penyederhanaan prosedur dan persyaratan untuk investasi usaha pengembangan peternakan kado; (b)penyediaan kredit bagi hasil dan (c) penyediaan informasi (harga dan teknologi) (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian)

Sabtu, 10 Mei 2008

APRESIASI MASYARAKAT PADA PRODUK TERNAK

.............

DUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL (bag 2)

Sudah diketahui bersama bahwa produk ternak sangat dibutuhkan dalam menopang kehidupan tubuh manusia. Kualitas pangan berasal dari hewan ini pada batasbatas cukup sangat dibutuhkan untuk menopang hidup pokok, aktivitas dan reproduktivitas umat manusia. Akan tetapi belum semua maasyarakat Indonesia yang dapat memenuhi kebutuhan pangan asal hewan. Soedjana (1996) mengindikasikan bahwa pada masyarakat Indonesia yang berpenghasilan rendah, pangsa pengeluaran rumah tangganya sebagian besar (lebih dari 50%) masih didominasi oleh pengeluaran pangan, terutama beras sebagai makanan pokok. Dijumpai pula bahwa masyarakat di perkotaan, yang berpendapatan tinggi dan berpendidikan menengah ke atas, pangsa anggaran belanja makanannya diperkirakan kurang dari separuh pendapatan rumah tangga. Yang sangat menarik dari fenomena ini adalah dijumpainya kecenderungan penurunan konsumsi pangan yang bersumber karbohidrat dan beralih pada pangan bersumber protein seperti hasil ternak dan ikan.

Konsumen pangan sumber produk ternak ini lebih banyak untuk masyarakat di perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan, meskipun pada akhir-akhir ini ada juga masyarakat dengan berpenghasilan menengah ke atas mulai mengkhawatirkan kelebihan konsumsi pangan sumber hewan, sehingga ada kecenderungan untuk menurunkan konsumsi pangan berasal produk ternak dan beralih pada buah dan sayur. Fenomena di atas ini tentunya masih merupakan perbandingan yang kurang proporsional jika melihat pangsa masyarakat berpenghasilan rendah di Indonesia ini boleh dikatakan paling besar dibandingkan dengan pangsa masyarakat berpenghasilan menengah dan tinggi. Mengingat bahwa masyarakat di Indonesia baru mengkonsumsi protein hewani sebanyak 4,19 gr/kapita/hari, artinya berdasarkan norma gizi minimal bangsa ini baru mengkonsumsi 69,8% protein hewani. Saat ini, masyarakat Indonesia baru bisa memenuhi konsumsi daging sebanyak 5,25 kg, telur 3,5 kg, dan susu 5,5 kg/kapita/tahun (Siswono, 2005). Jelas sekali terlihat bahwa kesenjangan yang sekitar 30,2 % masih merupakan tantangan yang harus dihadapi guna memenuhinya.


Keterbukaan pangsa pasar produk ternak ini begitu lebar, sehingga upaya-upaya peningkatan produksi ternak melalui berbagai jurus sistem seperti sistem ektensif di pulau-pulau yang kurang penduduknya sampai sistem intensif yang berada di pulau yang dihuni banyak manusia. Namun kembali lagi pada fenomena yang dikemukakan Soedjana (1996), besarnya pendapatan keluarga sangat menentukan besarnya konsumsi produk ternak, sehingga keterbukaan pasar yang kelihatannya menggiurkan, tenyata ada keterbatasan. Upaya pemerintah tentunya tidak berhenti, karena tujuan utamanya adalah meningkatkan konsumsi produk pangan berasal dari ternak, sehingga faktor daya beli masyarakat sebaiknya bukan penghalang serius. Berbagai cara untuk meningkatkan konsumsi pangan berasal produk ternak ini, misalnya peningkatan pemilikan ternak yang disertai dengan promosi utamanya peningkatan konsumsi untuk keluarga, yang pada gilirannya dapat juga berakhir untuk dijual untuk mendapat tambahan uang tunai untuk keluarga.

Besambung ke bag.3
TEKNOLOGI BUDIDAYA MENDUKUNG PENINGKATAN PRODUK PANGAN HEWANI





Minggu, 04 Mei 2008

DUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL (bag 1)

Prof. Dr. Ir. Ahmad Suryana, MS
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian

1. Ringkasan

Berbagai lapisan masyarakat Indonesia sangat membutuhkan pangan hewani guna mendapatkan generasi bangsa yang sehat dan cerdas. Akan tetapi ketersediaan pangan hewani ini sangat ditentukan pula oleh tingkat pendapatan masyarakat dan kesadaran akan gizi yang baik. Dari berbagai jenis pangan hewani asal peternakan, maka negara Indonesia sudah dapat berswasembada untuk telur dan daging ayam broiler, akan tetapi belum dapat mencukupi kebutuhan akan pangan hewani asal daging sapi dan susu.

Apresiasi masyarakat terhada pangan hewani asal ternak cukup tinggi, walaupun secara umum masyarakat Indonesia baru dapat memenuhi 69,8% dari kebutuhan protein hewani. Berbagai strategi untuk meningkatkan kesediaan pangan hewani asal ternak telah pula dilakukan. Sementara ini, telah tersedia beragam rakitan teknologi dari Badan Litbang Pertanian menyangkut aspek budidaya peternakan dan pencegahan penyakit hewan serta pengolahan produk pangan hewani yang aman dan halal. Implementasi rakitan teknologi di masyarakat luas diharapkan dapat membantu penyediaan pangan hewani asal ternak.
Kata kunci : peternakan, teknologi, pengolahan.


2.Pendahuluan

Populasi penduduk Indonesia yang sekitar 220 juta orang memerlukan kesediaan pangan hewani bermutu tinggi, halal dan aman dikonsumsi. Rataan konsumsi pangan hewani asal daging, susu dan telur masyarakat Indonesia adalah 4,1; 1,8 dan 0,3 gram/kapita/hari (Direktorat Jendral Peternakan, 2006). Angka angka tersebut barangkali jauh lebih rendah dari angka konsumsi standar Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (LIPI, 1989) yaitu sebanyak 6 gram/kapita/hari atau setara dengan 10,3 kg daging/kapita/tahun, 6,5 kg telur /kapita/tahun, dan 7,2 kg susu/kapita/tahun (Direktorat Jendral Peternakan, 2006).

Konsumsi pangan asal hewani akan meningkat sejalan dengan membaiknya keadaan ekonomi masyrakat maupun meningkatnya kesadaran masyarakat akan gizi baik. Di antara ketiga jenis pangan hewani asal ternak (daging, telur dan susu), sejak tahun 1955 Indonesia sudah mampu berswasembada telur dan daging ayam, akan tetapi sampai dewasa ini kita belum untuk daging sapi dan susu.

Secara Nasional, produksi telur ayam didukung oleh industri unggas swasta dari ras petelur yang sebagian dicukupi oleh telur ayam buras maupun telur itik, berturutturut adalah 751,1 ; 181,1 dan 201,7 ton (Direktorat Jendral Peternakan, 2006). Tidak demikian halnya dengan kesediaan susu, dimana dari konsumsi susu nasional yang sebesar 4-4,5 juta liter/hari, produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 30% saja (1,2 juta liter/hari). Produksi susu dalam negeri tersebut terutama dipenuhi dari industri persusuan Nasional berlokasi di Jawa Barat (450 ton), Jawa Tengah (110 ton) dan Jawa Timur (510 ton), sementara sisanya masih harus diimpor dari luar negeri.

Diantara pangan hewani asal daging, maka sebagian besar masyarakat Indonesia mengandalkan pada penyediaan daging unggas (ayam dan itik), daging sapi, kerbau dan babi. Kesediaan daging unggas dari broiler (955.756 ton) sudah mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat luas, sedangkan populasi ayam lokal sejumlah 298,4 juta ekor, mempunyai produksi sekitar + 322.8 ribu ton. Populasi sapi potong yang 11 juta ekor hanya memenuhi produksi daging sapi nasional sebesar 306 ribu ton (pemotongan sekitar 1,5 juta ekor/tahun) atau baru memenuhi 70% dari kebutuhan nasional. Sehingga pemerintah masih memerlukan importasi bakalan sapi potong sejumlah 408 ribu ekor/tahun (setara dengan 56 ribu ton). Pada tahun 2005 importasi daging (terdiri dari daging sapi, kambing, domba, ayam dan babi, termasuk hati dan jeroan sapi) mencapai 634.315 ton dan produk susu mencapai 173.084 ton, belum lagi mentega (60.176 ton), keju (9.883 ton), sedikit telur dan yoghurt (Direktorat Jendral Peternakan, 2006). Besarnya importasi bakalan sapi potong tentu saja akan sangat menguras devisa negara dan membuat ketergantungan pada pihak luar.

Stimulasi produktivitas ternak dapat ditingkatkan melalui implementasi kebijakan pemerintah untuk mendukung pengembangan sistem produksi ternak maupun dengan perakitan inovasi teknologi yang sesuai. Inovasi teknologi, selain menyangkut produktivitas ternak, juga harus menyentuh aspek penangan kesehatan hewan maupun pengolahan produk ternak yang aman dan halal. Naskah ini akan menyampaikan dukungan teknologi Badan Litbang Pertanian guna penyediaan produk pangan asal peternakan dan asal peternakan, yaitu daging, telur dan susu.

bersambung ke bag. 2 ......

Jumat, 02 Mei 2008

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: SAPI


Agribisnis sapi di Indonesia mempunyai prospek yang sangat besar, karena permintaan produk daging, susu maupun kulit terus meningkat, seirama dengan pertambahan penduduk dan perkembangan perekonomian nasional. Namun sangat disayangkan karena dalam beberapa dasawarsa terakhir ini impor ketiga produk tersebut cenderung terus meningkat, walaupun terjadi fluktuasi sebagai akibat adanya perubahan global maupun dinamika nasional.

Daya saing industri peternakan ditentukan pada ketersediaan pakan, disamping faktor bibit, manajemen dan kesehatan hewan, serta inovasi teknologi dan faktor-faktor eksternal lainnya. Indonesia tidak memiliki padang pangonan yang memadai, dan juga sangat terbatas dalam kemampuannya menyediakan biji-bijian (jagung, kedelai, kacang-kacangan, dll.), tetapi negara ini mempunyai sumberdaya pakan yang masih belum dimanfaatkan secara optimal, yaitu biomasa yang dihasilkan dalam usahatani, perkebunan, agroindustri, dan rerumputan yang tumbuh sebagai cover crop. Inovasi teknologi Badan Litbang Pertanian telah membuktikan bahwa bahan-bahan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan untuk mencukupi kebutuhan pakan ternak ruminansia. Bahkan biaya pakan yang diperlukan untuk menghasilkan produk tersebut sangat kompetitif. Pengembangan ternak ruminansia dengan demikian harus dilakukan dengan pola integrasi secara in-situ maupun ex-situ, baik yang bersifat horizontal maupun vertikal. Untuk tujuan menghasilkan sapi bakalan, crop livestock system melalui pendekatan low external input merupakan pola yang harus ditempuh. Sedangkan untuk tujuan penggemukan dan ternak perah dapat menggunakan teknologi yang padat modal.

Sampai saat ini sebagian masyarakat Indonesia dapat menerima daging kerbau sebagai layaknya daging sapi. Oleh karenanya untuk kondisi agroekologi dan sosial budaya tertentu, pengembangan kerbau dapat juga dilakukan. Sementara itu pengembangan sapi potong, sapi tipe dwiguna atau sapi perah sangat tergantung pada kondisi daerah, dengan pertimbangan pada aspek kemudahan dalam mengelola dan memasarkan susu. Sedangkan secara teknis perbedaannya relatif tidak besar, kecuali dalam hal kesehatan/kebersihan dan intensitas manajemen.

Profil usaha penggemukan sapi skala 1000 ekor sapi bakalan setiap siklus dengan tiga siklus per tahun, akan diperoleh keuntungan bersih sebesar Rp. 1,83 miliar dengan R/C ratio 1,18. Profil usaha cow-calf operation (pembibitan) sapi skala 1500 ekor induk untuk menghasilkan 1000 ekor sapi bakalan per tahun, akan diperoleh keuntungan sebesar Rp. 0,42 miliar dengan R/C ratio 1,21. Sedangkan profil usaha pabrik pakan skala 10 ton per hari, akan diperoleh keuntungan sebesar Rp. 0,5 miliar per tahun dengan R/C ratio 1,31.

Untuk merespon perkembangan agribisnis sapi di Indonesia dalam 10 tahun ke depan agar 90 persen kebutuhan daging dapat dipenuhi dari produk domestik diperlukan dukungan investasi sebesar Rp. 24 trilyun, yang berasal dari: (i) pemerintah sekitar 10 persen berupa pembangunan sarana-prasarana, litbang, perbibitan, penyuluhan, pengamanan dari ancaman penyakit berbahaya, kelembagaan, promosi, dan dukungan akses atas sumber permodalan; (ii) investasi dari peternak kecil sekitar 60-70 persen melalui pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki, dan penambahan ternak; (iii) sedangkan investasi dari swasta sekitar 20-30 persen untuk kegiatan hulu dan hilir, serta pada usaha penyediaan bibit, budidaya sapi perah dan penggemukan.

Kebijakan pemerintah untuk mendorong agar usaha ini dapat berkembang pesat antara lain adalah: (i) dukungan untuk menghindari dari ancaman produk luar yang tidak ASUH, ilegal, dan barang-barang dumping, melalui kebijakan tarif maupun non-tarif; (ii) dukungan dalam hal kepastian berusaha, keamanan, terhindar dari pungutan liar dan pajak yang berlebihan; (iii) dukungan dalam hal pembangunan sarana pendukung, kelembagaan, permodalan, pemasaran, persaingan usaha yang adil, promosi, dan penyediaan informasi, serta (iv) dukungan agar usaha peternakan dapat berkembang secara integratif dari hulu-hilir, melalui pola kemitraan, inti-plasma, dan memposisikan yang besar maupun kecil dapat tumbuh dan berkembang secara adil.

Kebijakan tersebut diharapkan dapat mendorong investasi yang mampu menciptakan lapangan kerja untuk kegiatan budidaya bagi 200.000 tenaga kerja, serta satu juta tenaga kerja dalam kegiatan hulu dan hilir. Dengan demikian pengembangan agribisnis sapi di Indonesia akan mampu menjawab tantangan yang dihadapi bangsa dalam hal ketahanan pangan, lapangan kerja, kesejahteraan masyarakat, devisa, serta perekonomian nasional. (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian)



© 2008 Maju Ternak Indonesia |  Created  by Tio